epanrita.net – Mak Sari tua itu tampak mahir melayani pembeli yang biasanya datang ke tokonya.
Meski tangannya mulai keriput, jari-jari Mak Sari sangat fleksibel untuk melayani, termasuk yang memesan secangkir kopi panas.
Mak Sari adalah seorang wanita berusia 74 tahun. Di usia tersebut, Mak Sari masih bekerja mandiri dan tidak ngerepotin anak dan cucunya. Selama hampir 20 tahun, Mak Sari telah berkecimpung dalam bisnis makanan ringan, kopi, dan air minum kemasan.
Namun yang menarik, lokasi lapak bukan di lokasi yang dekat dengan pemukiman penduduk atau kawasan penting yang strategis, melainkan tempat yang ramai dikunjungi orang. Pasalnya, lapak tersebut dijual di tengah pemakaman warga yang berlokasi langsung di Sinaraga, TPU, Cicendo, Kota Bandung.
Mak Sari mengatakan telah membuka lapak di TPU Sirnaraga sejak tahun 2003. Sebelum berdagang, ia bekerja selama 20 tahun di sebuah pabrik karet di kawasan Margajaya, Bandung.
Bahkan menjual barang-barang di kuburan, Mak Sari tahu betul bahwa itu adalah ujian keberaniannya. Namun seiring berjalannya waktu, Mak Sari berjualan di sana, dan pada siang hari banyak warga yang beraktivitas di kawasan TPU Sinargalih.
“Emak jualan dari tahun 2003. Dulu mah iya masih keueung (sepi), masih ngerasa takut. Tapi sekarang mah udah mulai rame, udah banyak anak-anak kecil yang maen di kuburan,” katanya.
Warung Mak Sari dibuat menggunakan dua blok pemakaman. Salah satu makamnya lebih tua dari usia Mak Sari. Tetapi keluarga pemilik makam tidak mempermasalahkan fakta bahwa ada warung.
Bahkan, tidak jarang Mak Sari juga merawat dua kuburan. Ada dua makam untuk saudara saya di area TPU, tetapi mereka juga perlu dirawat dan dibersihkan agar tempat peristirahatan saudara Mak Sari dapat terpelihara dengan baik.
“Ini makam, keluarganya dari Surabaya. Biasanya setahun sekali diziarahin. Alhamdulillah, nggak ngerasa keganggu sama emak. Malahan katanya terima kasih ada yang ngejaga makamnya,” ungkap Mak Sari.
Pada usia ini, Maksari sangat sadar bahwa dia sedang menunggu Penciptanya untuk memanggilnya. Meski belum memiliki cukup bahan untuk hidup, Mak Sari mengaku siap beramal untuk bertanggung jawab setelah kematian.
“Emak ge boa iraha, nu jelas moal lila (Emak juga nggak tahu kapan akan meninggal, yang jelas mah nggak bakal lama). Ayeuna emang teu gaduh nanaon nu bisa dicandak, nya candak amal bae nu digaduh (Sekarang emang nggak punya apa-apa yang bisa dipakai, ya bawa amal aja yang dimiliki),”